Memang, Ramadan kali ini punya cerita, dan ini adalah sebuah kisah dari suatu Ramadan saat berbuka. Ramadan kali ini kami belajar memahami dan mengerti satu sama lain. Seperti menjadi ibu rumah tangga saja yang memiliki
keluarga. Tapi meskipun darah yang mengalir di tubuh kami tak sama, kami merasa
seperti saudara.
Seperti seorang ibu yang memahami anak-anaknya. Kami belajar menyatukan pendapat, dan
membuat perbedaan menjadi suatu kekuatan. Bukan contoh besar, hanya segelintir
kisah mengenai sekitar masakan. Kami belajar memahami bahwa setiap orang memiliki
selera yang berbeda, tentu saja perbedaan bisa menjadi awal sebuah konflik,
tapi dengan perbedaan itulah kami belajar untuk menjadi tidak egois terhadap diri sendiri, dan belajar menyudutkan ego masing-masing.
Iya suatu perbedaan,
tak usah jauh jauh, pelajaran bisa di dapat dari mana saja. Seperti dari
semangkuk sup.
Selera kami berbeda, maklumlah karena isi kepala kami juga
berbeda. Seperti ada orang yang tidak menyukai jahe, sedangkan ada yang sangat
menyukai saat memasak sayur sop memakai jahe. Tapi tak masalah, tak usah karena
jahe kita menjadi amarah, simple saja , karena rasa jahe bisa menyebar ke seluruh sop, dan bisa mengorbankan salah seorang, jadi daripada mengorbankan seseorang, simple saja tak usah memakai jahe.
Lalu ada orang yang tidak menyukai kentang, padahal tiap
sup pasti memakai kentang, mungkin tak bukan sup namanya bila tak
memakai kentang. Tapi kentang bukanlah hal yang bisa membuat dia yang tidak menyukai lantas
menjadi emosi. Ya karena tak suka, dia memilih untuk menyisakan kentang di mangkuknya dan menghabiskan pilihan lain, seperti wortel, kol dan yang lainnya. Sup masih terasa amat
nikmat.
Saat tema sup adalah ceker, tapi ada orang
yang tak menyukai ceker, itu juga masih tetap bukan masalah. Tak usah karena
ceker maka terjadi huru hara, ahhaha.. mungkin huru hara itu istilah yang
terlalu berlebihan. Tapi memang benar dia tak masalah, dia masih tetap makan
dengan sup meskipun tanpa menyentuh ceker. Masih ada pilihan lain seperti sayap. Kuah dan sayurannya
pun dia makan dengan lahap.
Untuk orang yang menyukai semuanya mungkin jahe, kentang dan
ceker bukan masalah, itu adalah suatu bentuk kesatuan yang nikmat, dan ini adalah sebuah lidah yang diidamkan semua orang. Dia begitu amat menimati dan terlarut dalam masakan yang ia buat.
Lalu ada
yang pada saat memakan, mungkin karena sudah lama karena tak makan sup ceker, dan
saat memakan ada suatu hal yang mengganjal, hal itu lantas tidak membuatnya marah
dan berhenti, tapi dia tetap melanjutkan dengan tenang dengan meminimalisir sup
yg masuk ke dalam tubuhnya. Mengapa itu bisa terjadi? Hal itu terjadi karena dia bijak dan tau cara menghargai
orang yang sudah memasak dengan peluh dan lelah.
Meskipun dengan banyaknya perbedaan selera dan cara memasak, kami masih amat sangat bersyukur. Kami masih bisa memilih dan memilah apa yang akan dimakan, apa yang disukai dan apa yang tidak disukai untuk dimakan. Walaupun, kami tak bertanya
nanti akan makan dimana?, tapi kami masih
bisa bertanya, berbuka nanti makan apa?. Bukan pertanyann apakah hari ini kami masih bisa
makan?