Kamis, 19 April 2018

Cerpen : Percakapan Terakhir

Jam ditanganku mulai menunjukan pukul 11.00 siang. Aneh rasanya, semakin lama aku semakin ragu. Setelah  berdiri cukup lama disana, tak kusadari  seseorang sudah berdiri di belakangku.

"Kau sudah tiba rupanya, aku kira kau tak akan datang," tanyaku.
"Bukankah kau bilang kau akan menunggu?" jawabnya sambil sedikit mengerutkan dahi.

 Aku hanya tersenyum. Kulihat hari ini pakaiannya tampak lebih rapi, tak biasanya dia seperti itu.

"Mari kita cari tempat duduk." aku berjalan sambil mendahului.
"Kau pesan apa, apakah jus apel masih menjadi minuman favorite mu?
"heemm..," dia hanya mengangguk.

"Bagaimana kabarmu?",  tanyaku.
 Kulihat sepertinya dia tampak lebih kurus dari sebelumnnya. Sudah lama kita tak berbagi kabar, tapi mungkin kita tak cukup dekat untuk saling berbagi kabar. Hanya saja aku selalu ingin tau tentangmu, bagaimana harimu, apa yang kau jalani, sedihmu, sakitmu, bahagiamu. Hal-hal semacam itu terus bergumul di kepalaku bersembunyi dibalik senyum palsu di wajahku. Bodohnya aku, bukankah dia tak sepeduli itu padaku.

Kekakuan ini membuatku sedikit teriris, tak ada lagi tawa dan tingkah konyol yang menyertai. Hanya wajah-wajah suram yang saling duduk berhadapan dengan tatapan yang saling berpaling.

Kau masih sama, selalu begitu. hanya aku yang bicara, sedangkan kau hanya duduk terdiam. Aku seperti orang bodoh yang selalu mencari bahan cerita sedangkan kau seperti dinding tebal yang berwajah datar. Mengingat hal itu, aku masih tetap bisa tersenyum, senyum ketir.

"Aku tadi melihat ini, aku jadi teringat padamu." sambil ku berikan sebuah kotak kecil berwarna hitam.
"Apa ini?" wajahnya mulai menunjukan rasa penasaran.
"Bukalah!,"

Nampak wajahnya heran dengan alis sedikit naik ke atas. Benda yang ada di hadapannya membuatnya tersenyum.

"Bukankah jika kau terseyum seperti ini tampak lebih manis, kenapa wajahmu selalu tampak muram?.

Seketika seyumnya mulai meredup, bersamaan dengan dia menutup kembali kotak hitam.

"Kau orang yang aneh, " hanya itu yang dia katakan padaku. Wajahnya sedikit menunduk sambil menyeruput minuman favoritnya.

"Aku memang aneh, tapi ternyata ada seorang lagi yang lebih aneh bagiku. Yaitu kau."
"Iya aku tau, semua orang mengatakan itu padaku". jawabnya dengan santai tersenyum simpul.

" Tak terasa satu tahun sudah berlalu, tahun yang begitu berkesan. Tahun lalu aku banyak kehilangan orang yang berharga dalam hidupku, dia, mereka  dan... kau pun juga...

Dirinya masih membisu,  dia  hanya menatapku penasaran. Sedangkan aku masih sibuk dengan jariku, menghitung sisa yang masih ada.

"Bagaimana bisa?" Dia mulai bertanya.

"Sudahlah, bukankah kau tak mau tahu?"

Padahal banyak sekali yang ingin aku katakan, tapi entah kenapa sekarang aku jadi lupa.
Sebenarnya bukan lupa, aku hanya tak ingin bicara banyak. Aku tak ingin duduk berlama-lama dengannya. Karena melihatnya saja sudah membuatku teriris.

Mengapa kau tak pernah jujur padaku?

Bukankah kau sama sekali tidak peduli denganku?, Bukankah kau juga takut dengan kejujuranku. Untuk apa aku jujur?  Jujur padamu hanya akan melukai diriku.

Ketegangan dan kesedihan mulai menyelimuti, air mataku sudah mengoyak untuk keluar, namun egoku masih tetap kuat untuk membendungnya. Kulihat dirinya mulai memalingkan muka dengan mata yang sedikit memerah.


"Aku hanya ingin menyampaikan terimakasih,  terimakasih telah bersedia menjadi temanku, terimakasih untuk mau mendengarkan celotehanku. Terimakasih. Mungkin ada banyak hal yang tak bisa aku balas hanya dengan ucapan terimakasih, tapi aku benar-benar berterimaksih."

Senyumku mengembang mengucapkannya, dan aku benar-benar tulus.

Meskipun kau orang yang dingin, tapi kutahu hatimu begitu hangat. Meskipun kau tampak tak peduli, ku tahu, kau begitu perhatian. Maafkan aku, egoku terlalu banyak bicara dibanding hatiku.
 Maafkan aku telah menganggu kehidupan mu,  menganggu kenyamanannmu dan mencoreng kehidupan sempurnamu.

Biasanya aku tak seperti ini. Aku tak akan memaksa seseorang untuk bertahan di sisiku. Tapi untukmu, Serakahkah aku jika  memintamu untuk   tetap disisiku?.

Kata-kata itu hanya aku ucapkan dalam hati dibalik seyuman yang merekah. Lalu aku pergi, berjalan gontai mengikuti langkah kaki yang terasa tak menapaki bumi,   air mata pun mulai mengalir.  Sedangkan kau masih diam, menunduk  dengan kebisuanmu, sambil menatap kotak hitam.



___Aku Tak Peduli




Tidak ada komentar:

Posting Komentar